Minggu, 02 Oktober 2011

Rangkaian Kisah Perjalanan Waktu


(Oleh :The little bird adalah nama pena dari yuni hastuti)

Sebagai kisah. Waktu menjadi hal utama dalam setiap perjalanan. Meminjam relativitas maka kisah tak menjadi benar pun bukan kesalahan. Kisah melingkupi waktu tanpa jeda. Memiliki kuasa terhadap waktu, dan perjalanan ditempuhi sebagaimana mestinya. Nilai dari kisah menjadi nilai bagi waktu. Perjalanan menjadi arah dari nilai kisah dan waktu. Bisakah menolak statemen sebuah nilai? Sementara relativitas melingkupi segalanya? Maka biarkanlah penilaian menjabarkan makna dari relativitas itu sendiri.

Kisah akan menjadi menarik jika pendengar mempunyai ketertarikan yang sama dari cerita kisah. Perjalanan terasa bermakna jika yang menempuh mempunyai visi yang sejalan dengan apa yang tergerak dari misi-misi yang dilampaui. Waktu akan menjadi kelezatan jika perjalanan membuat kisah yang diinginkan sang pelaku. Sebaliknya makna akan tercecer sia-sia jika kisah bukan terangkai dalam perjalanan di waktu yang tepat. Maka relativitas menjadi hal yang menjangkau pembenaran-pembenaran dan alasan menyalahkan.

Tak akan cukup jika memaknai kisah, perjalanan dan waktu dalam perpesktif ingin. Karena ketiganya tidak berdasarkan ingin namun terjadi karena mestinya dan itu seringkali di luar ingin. Namun kemampuan mengecap getirnya pahit serta nikmatnya manis menjadi hal penting. Karena jika rasa itu hilang maka diperlukan pencarian untuk menikmati kegetiran dan manis yang juga tunduk pada relativitas.

Seperti malam ini, indah sekali pancaran lampu kota pada bening dan ketenangan laut, dimanja iringan musik yang easy listening pasti nuansa romantis menjadi keindahan sempurna dalam suasana seperti ini. Pada kenyataannya ada rasa sepi mendera. Sekalipun deru kendaraan meningkahi alunan musik yang terdengar. Karena romantisme membutuhkan kehadiran pihak lain, ia tak bisa dinikmati dalam kesendirian. Kadang duduk menikmati segelas teh manis dan semangkok mie ayam menjadi luar biasa romantis dan berkesan saat ditemani orang yang tepat. Maka nilai relativisme menjadi hal yang tak terelakkan.

Maka dari fakta di atas ada kisah yang terangkai dari perjalanan yang terentang dalam waktu tertentu hasilnya sebuah relativitas yang termakna dalam: kesan. Kesan tidak mengandung pembenaran ataupun opini negatif. Karena kesan sendiri relatif, bisa saja (mengacu fakta diatas) tak terlupakan, biasa saja, sangat menjengkelkan atau pendapat anda yang mungkin berbeda dengan pendapat-pendapat di atas dan tentu saja apa yang anda utarakan benar untuk anda sendiri. So, mencela suatu kisah secara bersamaan juga mencela suatu waktu dan pelaku yang hanya menjalani mestinya. Mestinya tidak ada pencela tapi pencela bisa dipositifkan menjadi pengkritik yang membangun jiwa dan pencela dapat dinegatifkan menjadi pembunuh jiwa karena ada relativitas disini.

Jadi ngotot agar pendapat diri sendiri diterima dan mutlak benar dalam bungkus label-label positif sepertinya perlu dikaji ulang. Maka mampukan untuk mengecap rasa yang terkandung dalam suatu perjalanan yang di tempuh karena kisahnya akan mengesankan bagi waktu yang terlewati. Namun ada kesan-kesan yang diterima umum karena rasa bahagia dan senang dialiri senyawa yang sama yaitu pemenuhan dan kepuasan. Sehingga kisah bukan deretan kehampaan yang kosong dan menjemukan. Sekalipun relatif ada yang digarisbawahi bahwa nilai relatif tersirat dalam kadar, dalam prosentase. Bukan pada nilai mutlak. Namun nilai mutlak dapat di tembus relativitas jika ada dalam ambang batasnya. Karena hitam dan putih bertemu dalam abu-abu, benar dan salah ada di pembolehan.

Maka seringkali si A mengoceh mengkritisi hal-hal yang bahkan tak ada hubungannya dengan hidupnya. Si B tak peduli lagi sekalipun mengenai hal-hal yang menyentuh dirinya. Si C hanya tercenung, tersentak jika itu cukup memberi impresi bagi dirinya. Akan ada banyak respon bahkan mengenai satu peristiwa yang sama karena perjalanan yang berbeda yang telah di tempuh si A, si B, si C dan anda. Karena waktu si A, si B, si C dan anda saat menyikapi hal yang sama baik dari segi umur atau psikologis ketiganya memiliki perbedaan. Karena kisah yang di miliki anda maupun lainnya: sungguh berbeda. Maka jika ingin menetapkan nilai carilah hal yang tidak memihak, ada PP, UU dan Al Quran. Namun, kita seringkali tak mengetahui kandungannya sehingga opini pribadi menguasai, dan naik pangkat menjadi doktrin baru.

Sehingga bertaburan doktrin-doktrin yang memacu doktrin lain dari pihak yang mempunyai kepentingan berbeda.

Di sisi lain mengabaikannya akan memunculkan sifat apatis dan statis. Dan menjadi menarik di sini jika si apatis bertemu dengan si dinamis. Akan membutuhkan perjalanan yang panjang dan waktu yang lama untuk mencapai titik temu sehingga akan menghasilkan kisah yang luar biasa. Maka bisa kita sebut bahwa kita lahir untuk membuat kisah bukan untuk bersandiwara. Karena sandiwara hanya potongan kecil dari kisah. Maka adanya sisipan sandiwara ini yang membuat pelaku mampu tersenyum di tengah kepungan pilu, mampu merajuk dalam badai amarah, dan mampu terbahak di antara tangis yang hebat. Kisah akan banyak dihiasi hal mungkin dan musykil karena kekuatan seseorang menempuh perjalanan dan bertahan di antara keringnya waktu. Kisah, perjalanan, dan waktu menerjemahkan pertemuan antara ingin dan seharusnya. Terkadang nampak seiring namun seringkali bersebrangan. Ingin terwujud dalam situasi penuh pemikiran, pertimbangan akan kelayakan seharusnya. Seharusnya merupakan kumpulan opini di suatu waktu yang mengalami pergeseran nilai, nilai mutlaknya adalah relativitas. Seharusnya bukan kebenaran. Seharusnya adalah muara ingin dari opini yang disepakati. Maka, sejarah mencatat kisah-kisah yang nilainya saling bertabrakan namun menjadi nilai yang dianut masyarakat pada jamannya. Jadi, memungut kisah bukan berarti seutuhnya menjadi nilai diri, perjalanan kita, waktu kita berperan penting untuk menentukan langkah yang akan kita lakukan mengenai sebuah kisah. Kisah dan kasih juga terdiri dari huruf yang sama dengan makna berbeda. Maka kesan tak berlebihan jika dimaknai dari kisah kasih itu sendiri. Perjalanan waktu yang akan menentukan sebuah kisah akan terhenti pada bendungan kasih. Akhir perjalanan untuk melenakan diri, melesapkan waktu, mengartikan diri dan melakukan kolaborasi secara mendalam dalam merangkai kisah di waktu perjalanan selanjutnya.

Kasih sebagai jembatan perbedaan masing-masing orang dengan perjalanan, kisah dan waktu yang tak sama. Walaupun bahasa kasih itu terbata untuk dipahami, kasih mempunyai relativitas yang rentangannya lebih sempit. Karena kasih masing-masing yang mempunyai perbedaan perjalanan, waktu, dan kisah berbeda berusaha saling mendekat. Sekalipun tak benar-benar menyatu, setidaknya mempunyai kesaling pengertian yang lebih toleran hingga aku itu mendayu di kita. Maka ingin kita seharusnya bisa di diskusikan tidak harus melalui inginku sendiri atau inginmu. Maka relativitasnya akan menarik dan melebur kita pada kisah yang bertautan, itu mendamaikan. Memudahkan penerapan tata tertib RT lebih aplikatif. Menjadikan keamanan bukan sekedar deretan huruf.

Dan kita telah dibiasakan memahami kisah, kasih, dan apapun dengan deretan huruf. Bukan rasa. Maka ada statemen rancu yang merusak maknanya; aku marah sama kamu karena aku sayang sama kamu. Statemen ini rancu. Akankah rasa sayang bisa diberikan melalui sebuah kemarahan? Karena sayang adalah sesuatu yang menyentuh hati, maka diperlukan hati yang penuh kasih sayang untuk menyampaikannya, bukan mulut yang penuh kalimat-kalimat basa-basi.

Waktu yang akan mengajari bagaimana kita bisa merangkai kisah perjalanan yang penuh kasih. Jika kita mengijinkan Sang Pencipta menggoreskan pena kasih dalam hati kita, bukan sekedar membuka hati tanpa sesuatupun tercetak di dalamnya. Dan berhentilah mengeluarkan statemen yang bernilai basa-basi/lip service. Karena hati bisa menangkap rasanya. Jangan biarkan ekspresi orang mengecoh kita dan menganggap kita telah melakukan hal yang benar. Bisa jadi ekspresi ditunjukkan karena sang penikmat telah bosan berhadapan dengan kita. Biar kita segera menghentikan amunisis kata-kata maka pura-pura mengerti, pura-pura patuh menjadi pilihan sang penikmat. Sang penikmat tahu bahwa kita hanya bisa berkata-kata. Kita sendiri jauh dari apa yang kita katakan.

Maka rangkailah kisah perjalanan itu dengan perbuatan demi perbuatan yang selaras dengan kata-kata. Jangan sok bijak jika memaknai kata bijak kita masih terbata. Waktu demi waktu tidak bisa dilukis dengan kata perkata. Tapi perbuatan kita akan terpatri dengan sendirinya dalam rentangan waktu.

Memang, berat sekali menjadi jujur. Sementara orang-orang lebih menyukai service sekalipun itu tidak tulus. Orang lebih menyukai dipatuhi walaupun patuh terpaksa. Orang akan menganggap permasalahan selesai jika kita mengatakan: ya, walaupun itu tidak dari hati. Kenapa? Karena pamrih bertebaran, kepalsuan diperebutkan, doktrin menjadi senjata untuk menutup akal. Lalu kisah itu tak pernah ada. Hidup menjadi sepotong sandiwara tanpa makna.

Kita yang menentukan; akankah kita merangkai kisah dalam rentangan waktu yang singkat ini? Atau kita menjadi kisah yang terlupakan.


Sumber:

http://filsafat.kompasiana.com/2010/01/27/rangkaian-kisah-perjalanan-waktu/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar